Perkenalkan, namaku Theresia Suhandi. Biasa dipanggil, Theresia atau
malah… si tuli? Hidupku penuh warna namun tidak dengan suara. Ya, ibuku
baru tahu bahwa indra pendengaranku tidak berfungsi dengan baik saat aku
berumur 2 tahun. Aku selalu bersikap acuh tak acuh ketika namaku
dipanggil. Karna itulah ibu menaruh curiga pada pendengaranku. Beliau
lalu membawaku ke dokter THT. Alhasil, dokter menyatakan bahwa
pendengaranku tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya pada anak normal.
Sedih tentu ada dalam perasaannya. Sejak itulah, ibu mulai
memperkenalkanku pada dokter Ichida, dokter asal jepang yang mengajariku
bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang normal. Ibu juga banyak
belajar darinya.
Kalau boleh jujur, sebenarnya, aku adalah bayi premature yang lahir
tanpa ayah. Ayahku tlah lama ‘pergi’ ketika aku baru berusia 4 bulan
dalam kandungan. Padahal, aku belum sempat bertemu dan bercanda. Aku tak
pernah tahu setampan apakah wajah ayahku selain dari foto.
Suatu ketika, aku bertanya pada ibu, “Bu, apakah ibu menyesal karna telah mempunyai anak cacat sepertiku?”
Dan, kalian tahu apa? Ibuku malah menjawabnya dengan santai dan
tersenyum katanya, “Tidak, Sayang… ibu justru merasa bangga karna tlah
melahirkan seorang anak cantik sepertimu! Ayah juga pasti begitu. Kau
tidak cacat. Kamu kan masih mempunyai 2 telinga? Hanya saja telingamu
itu tidak berfungsi dengan baik. Itu saja kok…”
Jawaban ibu mengenai diriku cukup membuatku merasa percaya diri untuk
bermain dengan anak-anak normal di sekitar rumahku. Mereka menyambutku
dengan baik dan ramah. Ketika aku berumur 6 tahun. Tibalah saatnya aku
untuk disekolahkan. Ibu menyekolahkanku ke SDLB. Sekolah yang dituntut
untuk anak penyandang cacat sepertiku. 3 tahun aku bersekolah disana.
Hatiku senang karna pada akhirnya aku bisa menemui anak-anak tuli
sepertiku. Semuanya berjalan lancar sampai pada akhirnya, ibu
memindahkanku ke SD biasa karna Ibu melihat ada bakat dan prestasi nyata
dalam diriku. Pada mulanya, kepala sekolah merasa bimbang untuk
menerima seorang anak cacat menjadi siswa di sekolahnya. Setelah ibu
melakukan perdebatan yang agak panjang, akhirnya kepala sekolah
menerimaku menjadi siswanya dengan terpaksa ke sekolahnya.
Ibu bilang bahwa keadaanku akan jadi lebih baik ketika aku bersekolah
disana. Namun kali ini, ibu salah besar. Aku tidak diterima dengan baik
disana. Mereka semua menghujamku dengan perkataan pedas dan menjauhiku.
Mereka bilang aku hanyalah seorang anak tuli yang sama sekali tidak
dibutuhkan di sekolahanku sekarang. Hanya ada seorang anak yang setia
menemaniku, dialah Raisya. Raisya tidak cacat apalagi tuli. Bodoh
ataupun miskin. Akan tetapi, ia juga dijauhi oleh Teman-Teman hanya
karna ayahnya dipenjara karna kasus korupsi beberapa waktu lalu. Tidak
adil! Yang salah kan ayahnya? Bukan Raisya? Hukum siswa memang aneh dan
menyulitkan.
***
“Anak-anak, buat kelompok masing-masing 4 orang, ya! Segera kerjakan
tugas yang sudah ibu copy kan!” perintah bu Daya. Anak-anak di kelasku
memanggilnya dengan sebutan miss power. Sebagai murid baru, tentu aku
tak tahu jelas bagaimana julukan itu bisa terbentuk. Bu daya adalah guru
PKN di sekolah baruku. Meskipun umurnya bukan lagi seumur jagung. Tapi,
beliau tetap enerjik dan semangat mengajari murid-muridnya dengan
se-abrek materi PKN.
Setelah bu Daya memberi perintah, semua anak langsung berpencar
mencari kelompoknya masing-masing. Sementara aku dan Raisya malah
berdiri mematung di sudut kelas tanpa tahu akan masuk ke kelompok yang
mana. Mereka semua terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Theresia, Raisya, kalian belum dapat kelompok?” tanya bu Daya. Nadanya
terdengar mengiba. Beliau berjalan menghampiri kami yang masih berdiri
seperti orang bodoh di sudut kelas.
“Belum, Bu…” jawab Raisya dengan nada melemah. Matanya menatap kearah lantai putih kelas.
Bu daya menghela napas pendek. Beliau tahu bagaimana posisiku dan Raisya
di kelas ini. Selalu dikucilkan dan diejek, “Sekarang, siapa yang
kekurangan anggota kelompok?” tanya bu Daya, mengedarkan pandangannya ke
seisi kelas.
Suasana hening. Tak ada satu anak pun yang mengatakan bahwa mereka
kekurangan anggota kelompok atau hanya sekedar mengangkat tangan.
Padahal, tak mungkin rasanya jika kelompok mereka pas beranggotakan 4
orang. Pasti ada yang kekurangan anggota. Jumlah siswa di kelas ini kan
32. Mereka malah sibuk mengobrol dan memandang acak seakan tidak
mendengar pertanyaan bu daya.
Aku dan Raisya membuang napas pasrah. Percuma saja. Biarpun 10 kali
bu Daya bertanya pun tak akan ada yang mau mengakuinya. Yah, sayangnya,
aku dan Raisya sudah tahu akan hal ini.
“Sudahlah, Bu. Tidak apa-apa kok kalau kami hanya berdua saja!” Raisya
mengalah. Sesaat, bu Daya merasa tidak yakin pada putusannya. Namun,
kemudian, beliau pun menyetujuinya juga.
“Kalian jangan sedih ya… Teman kalian bersikap seperti ini karna belum
mengenal baik kalian berdua… Itu saja, kok!” bu Daya menenangkan dan
membuat rasa kecewaku sedikit terobati.
Hari ini, adalah hari yang melelahkan bagi jiwa maupun mental. Tidak
hanya hari ini saja tapi juga hari-hari yang sebelumnya. Mungkin juga
bagi hari yang sesudahnya. Ya, aku harap suatu saat nanti, mereka bisa
menerima kehadiranku dan Raisnya dengan baik di tengah-tengah mereka.
Ya, semoga saja?
***
Hari ini, aku akan bersiap pergi ke rumah Raisya. Untuk mengerjakan tugas kelompok. Lebih baik, aku bersiap-siap sekarang ah…
Eh, tunggu-tunggu, sepertinya aku tidak perlu bersiap-siap lagi karna
sudah cukup rapi sekarang. Hari ini, aku memutuskan untuk diantar mang
Udin saja karna ibu sedang sibuk bekerja sekarang.
Sigap, aku langsung turun ke bawah dan menghampiri mang Udin untuk
memintanya mengantarkanku ke rumah keluarga Narendra. Aku memasuki
mobilnya dengan anggun. Setelah mesin mobil dinyalakan, mobil pun
melesat dengan kecepatan normal.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam menatapi awan yang suka
berubah-rubah bentuk menurut gerakan angin. Terkadang berbentuk boneka
beruang, wajah orang tersenyum dan ada lagi yang membentuk seperti nama
‘Theresia’. Kok bisa?
“Kita sudah sampai, Non…” tutur mang Udin sambil memegang pundakku
dengan jari-jarinya yang agak besar. Aku tersadar dari lamunanku. Lalu
segera turun dari mobil dan memencet bel rumah. Beberapa waktu kemudian,
kamera yang berada di samping kananku menyala, menampakkan wajah Raisya
sedang tersenyum kearahku.
“Hai, Theresia… Datang juga kau akhirnya! Tunggu sebentar ya, biar
kubukakan pintu…” Raisya berkata sambil menyunggingkan senyum selebar
pelipis kiri ke pelipis kanan. Terlihat manis dari kamera. Walaupun aku
tidak bisa mendengar, tapi setidaknya aku bisa melihat gerak mulut
seseorang. Dibutuhkan kecermatan yang tinggi untuk itu! Raisya melongok
melalui kamera ke belakangku. “… biar mobilmu juga diparkirkan kedalam
rumahku!” Aku hanya bisa membalas perkataannya dengan tersenyum.
Tersenyum, tersenyum dan tersenyum.
KLIK!
Layar berubah menjadi hitam kembali. Aku beranjak masuk ke dalam mobil.
Tak lama berselang, aku melihat pintu gerbang terbuka dan dua orang
lelaki berbaju satpam saling bekerja sama untuk membukanya. Mang Udin
langsung memasang gigi mobil, melepaskan rem tangan dan mulai menginjak
gas. Asal kalian tahu bahwa halaman rumah Raisya hampir sama dengan
halaman sekolah Hogwarts. Dari teras rumah, Raisya sudah
melambai-lambaikan tangannya untukku. Aku segera berlari kearahnya dan
bersama-sama memasuki rumah Raisya. Didalamnya, terdapat banyak alat
musik yang tergeletak malang di dinding-dinding rumah. Jujur, baru
sekali ini aku mampir ke rumah Raisya. Ia mempersilahkanku duduk di
ruang tamu dan bertanya, “Ya sudah… Kamu tunggu disini dulu! Aku mau
merapikan kamar tidurku. Kamarnya berantakan sekali… Hehehe… Kamu nggak
apa-apa kan kalau aku tinggal sebentar?”
“Nggak apa-apa, kok….” Jawabku tersenyum. Ia langsung pergi meninggalkanku ke lantai dua.
Di depanku sekarang ada banyak alat-alat musik. Aku tertarik pada
salah satu alat musik yang terpampang di dalam lemari kaca. Penasaran,
aku segera berdiri dan berjalan kearahnya. Kebetulan, lemari kaca itu
tidak terkunci rapat sehingga aku bisa membukanya. Entah kenapa,
jari-jariku rasanya ingin sekali memegang alat music itu. Padahal, aku
belum pernah menyentuhnya sebelum ini. Dengan hati-hati, kukeluarkan
alat musik itu dari lemari kaca dan mulai memainkannya. Entah aku
memainkannya dengan nada yang benar atau tidak. Yang penting, aku
seperti terhanyut dalam permainanku sendiri. Setelah permainan biolaku
selesai, seseorang bertepuk tangan riuh di belakangku. Dia adalah,
Raisya.
Tak kusangka, ternyata, Raisya memperhatikanku saat bermain biola.
Saat aku bertanya apa komentarnya, ia bilang bahwa permainanku sangat
indah dan membuatnya terhanyut dalam suasana. Aku tak tahu apakah itu
benar atau salah. Yang jelas, komentar itu membuatku bingung sekaligus
membekaskan rona merah pada pipi karna Raisya terus memuji permainan
biolaku tadi. Hehehe…
***
Pagi ini, tak seperti biasanya, pak guru Jim selaku guru kesenianku
sedari tadi terlihat sangat cemas. Bukankah seharusnya beliau bergembira
ria karna salah satu murid didikannya, Tari berhasil menjuarai lomba
bermain biola tingkat provinsi. Dan, minggu depannya lagi, juga akan
diadakan lomba bermain biola tingkat Nasional?
“Mmm… Murid-murid, bapak ingin bertanya kepada kalian, apakah ada salah
satu murid di kelas ini yang jago bermain biola?” tanyanya kemudian.
Kami semua saling bertatapan bingung. Untuk apa ya beliau bertanya
seperti itu?
“Ada pak!!” teriak Raisya dengan penuh percaya diri. Pak Jim mengernyit.
“Siapa?” tanyanya. Raisya langsung menunjuk kearahku.
“Theresia? Apakah itu benar?” tanya pak Jim lagi, kali ini ia bertanya
padaku. Sontak, aku terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala. Aku segera
meraih bolpoin dan menulis di kertas, “Tidak, Pak… Raisya hanya
berbohong!” lalu menyerahkannya pada pak Jim. Alis pak Jim bertaut saat
membacanya.
“Percayalah, Pak… Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri pada saat ia
bermain biola di rumahku. Meskipun nadanya agak berantakan, tapi
permainannya sangat indah dan mengagumkan.” Raisya meyakinkan pak Jim.
“Baiklah, Theresia… Istirahat nanti tolong kamu kumpul ke ruang musik.
Saya ingin mendengar sendiri bagaimana permainan biolamu itu!”
***
Prok! Prok! Prok!
Pak Jim dan Raisya bertepuk tangan begitu permainan biolaku selesai. Itu
tandanya mereka menyukai permainanku. Pak Jim tersenyum puas dan
berjalan menghampiriku yang terdiam di atas panggung.
“Hebat, Nak! Apakah kau pernah berlatih biola sebelumnya?” tanya pak Jim. Lantas saja aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Baiklah… Mulai saat ini, kau akan menggantikan Tari untuk berlomba di
tingkat Nasional. Bapak yang akan melatihmu sendiri. Saya tunggu setiap
hari Senin sampai Jumat di ruang music sepulang sekolah. Oke?” Seusai
mengatakannya, pak Jim langsung meninggalkan ruang musik. Aku diam
membisu, seolah-olah tak percaya pada putusannya. Tingkat Nasional?
Memenangkan lomba biola saja belum pernah apalagi tingkat Nasional? Itu
pasti akan sangat menyulitkan.
“Hebat kau, Theresia… Berjuanglah! Buktikan pada mereka bahwa kamu punya kelebihan dibalik kekuranganmu!!”
***
Sejak saat itulah, aku dan pak Jim sering menghabiskan banyak waktu
sepulang sekolah dengan berlatih biola. Dan itu terus berlangsung sampai
pada hari dimana aku akan mengikuti lomba bermain biola tingkat
Nasional. Tentu saja, Ibuku ikut bersamaku ke tempat perlombaan.
“Lakukanlah yang terbaik, Nak…” kata Ibuku saat kami masih dalam perjalanan ke Jakarta.
Aku hanya membalas. “Aku akan berusaha sekuat tenaga.”
Dalam lomba ini, aku mendapat giliran nomor lima belas. Suasana disini
sangat ramai karna banyaknya peserta yang diwakilkan dari provinsinya
masing-masing. Aku merasa kecil disini.
Saat giliranku tiba, aku segera melangkahkan kaki ke panggung dan
disambut dengan pembawa acara dan tepuk tangan meriah dari penonton
serta juri. Aku membungkukkan badan, memberi hormat dan langsung berdiri
di tengah panggung. Semua lampu menyorot kearahku. Ketika aku sedang
memainkan biola, kulihat ada beberapa orang yang menangis karna terharu
dengan permainanku. Ada juga yang tersenyum menikmati lagu pembawaanku.
Saat itu, aku memainkan lagu Melly Goeslow yang berjudul Bunda. Setelah
selesai, aku bisa melihat banyak orang berdiri dari kursi dan bertepuk
tangan riuh. Ada juga yang melempar bunga mawar merah keatas panggung.
Aku merasa senang sekali karnanya. Segera kubungkukkan badan dan kembali
lagi ke balik panggung.
Akhirnya tiba saat pengumuman. Mereka mengumumkan mulai dari urutan
bawah sampai teratas. Kenapa namaku tidak dipanggil? Aku berharap, aku
akan berada di peringkat pertama.
“Pemenangnya adalah wakil dari Jawa Tengah, SD Demak, THERESIA SUHANDI!!”
Aku tersenyum ketika namaku dipanggil. Rasa senang bercampur bangga pada
diriku sendiri. Tanganku gemetar ketika menerima hadiah dari panitia
lomba dan bapak presiden Republik Indonesia. Ibuku tersenyum bangga atas
keberhasilanku memenangkan lomba ini. Pak Jim dan Raisya pun terlihat
senang akan kemenanganku.
Dan, sejak saat itu jugalah, aku tidak lagi dijauhi oleh Teman-Temanku. Mereka semua merubah sikapnya padaku dan juga Raisya.
sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/my-life-without-sound.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar